Dalam sebuah lamunan di perjalanan, sebuah baliho membuat Ketuwa tersentak. Papan iklan jumbo itu hanya menampilkan sederet kata-kata dengan latar belakang hitam-putih.
Baliho itu berisi kata-kata kira-kira begini “Jangan Kotori Lebaran Kali Ini dengan Pertanyaan Kapan Ini dan Kapan Itu.”
Sederhana dan tampaknya ingin menyindir orang banyak. Sebab, bagi sebagian orang, kumpul keluarga saat lebaran mungkin tak seindah gambaran di Instagram stories atau FYP TikTok. Akan ada bayang-bayang dicecar–atau paling tidak, ditodong deret pertanyaan yang tak sudah-sudah.
Sosok yang melontarkan pertanyaan mungkin saja cuma melempar basa-basi. Tapi bagi sang penerima pertanyaan, basa-basi itu malah bikin nyali ciut dan mood semrawut.
Tapi sebenarnya, apa basa-basi memang perlu? Terus selain nanya kapan ini dan kapan itu, waktu ngumpul keluarga pas lebaran tuh baiknya apa sih yang ditanya?

Banyak yang bilang, basa-basi punya peran penting membangun dan memelihara hubungan sosial, menciptakan suasana nyaman, dan meningkatkan keakraban antarindividu.
Tapi kalau basa-basinya “main bola terus, kapan nih bisa bawa Timnas Indonesia lolos piala dunia?” atau “kamu kan suka standing-standing di jalan, kapan naik podium di Sirkuit Sepang kayak Rossi?” Ya jelas bikin bete.
Contoh basa-basi di atas tuh selain ngeselin juga aneh! Orang main bola kan enggak semuanya pengin jadi atlet terus lolos piala dunia. Apalagi basa-basi kedua, orang suka main motor emangnya otomatis bisa ikut balap?
Basa-basi yang baik mungkin bisa dimulai dengan nanya nilai tukar Rupiah ke Dinar Kuwait, atau harga minyak mentah di tengah perang dagang Amerika-Cina. Selain bakal bikin ngang-ngong, paling tidak dua basa-basi itu kecil kemungkinan bikin mood semrawut.
Karena sejatinya, tujuan kumpul keluarga ialah jadi wadah mempererat silaturahmi, bukan lapangan tembak buat melontarkan kapan ini dan kapan itu. Kalau kata Nabi sih, katankanlah yang baik atau diam. Tapi kalau kebanyakan diam ya tak baik juga.
Kembali ke baliho di paragraf awal, kapan ini dan kapan itu sebenarnya hanya secuil daftar pertanyaan tak bermutu yang bisa terlontar dari siapapun saat lebaran. Ada banyak dan berderet-deret pertanyaan yang bakal menghunjam. Cara meresponsnya tentu saja dengan kepalan tinju yang dihantamkan ke ulu hati senyum tipis dan menjawab ala kadarnya.
Padahal dampak pertanyaan-pertanyaan sensitif saat lebaran ini bisa memicu gangguan kesehatan mental. Ini disebutkan dalam penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Islam (Rumah Jurnal IAIN Pontianak), yang menyoroti pertanyaan pribadi mengenai pekerjaan, pernikahan, dan masa depan selama pertemuan keluarga saat lebaran dapat memicu gejala kecemasan sosial, terutama pada generasi Y dan Z.
Penelitian ini menemukan bahwa individu yang belum mencapai ekspektasi sosial tertentu cenderung merasa tertekan dan malu ketika menghadapi pertanyaan semacam itu, yang dapat mengurangi keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam pertemuan keluarga di masa mendatang.
Bagi penanya, pertanyaan yang ia lontarkan mungkin seremeh “kok masih nganggur? Si A aja udah keterima di BUMN.” Tapi dampaknya tak main-main.
Meski begitu, “kebiasaan” (jika tak ingin menyebutnya budaya) bertanya kapan ini dan kapan itu sering dianggap normal. Utamanya dalam budaya kolektif seperti Indonesia (https://nationalgeographic.grid.id/read/132690096/pertanyaan-pribadi-di-kumpul-keluarga-bagaimana-cara-menghadapinya?page=2), yang kurang memerhatikan batas privasi individu. Sehingga pertanyaan mengenai status pernikahan, pekerjaan, atau gaji dianggap sebagai bentuk komunikasi umum untuk memulai percakapan. Padahal, tidak semua individu merasa nyaman dengan pertanyaan semacam itu, dan hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau tertekan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk merespon pertanyaan menyebalkan saat lebaran? Tentu saja dengan menenggak habis minuman yang disuguhkan sampai habis, membanting gelasnya ke lantai lalu berteriak “My body my authority, suka-suka aing mau ngapain!”

Ingat, hal di atas hanya bisa dilakukan jika saldo di rekeningmu cukup untuk hidup 200 tahun ke depan, atau kamu anak Donald Trump!
Jika belum memenuhi dua syarat tadi, maka kamu cuma bisa senyum kecut sambil menjawab sekadarnya saja. Karena melawan tentu saja bakal bikin urusan makin panjang. Jadi, YWDLH Mo Gimana Lagi? 😐

Fathur
Setiap hari bergumul dengan deadline di studio branding. Kadang nulis, kadang nangis.

Leave a Comment