Apa yang langsung nyangkut di kepala kalau dengar kata Simpang Pantek? Macet? Klakson sahut-sahutan kayak konser trompet gratis? Motor seliweran gak kenal aturan? Atau adegan adu jotos spontan antara sopir carry dan pemotor yang lagi bad mood?
Well, semuanya bener. Simpang Pantek emang tempat di mana akal sehat diuji, emosi disulut, dan kesabaran… ya, dilucuti pelan-pelan.
Terletak di perempatan Bengkong–Sei Panas–Seraya, simpang ini seharusnya bisa jadi jalur strategis. Tapi karena kontur jalannya miring, bergelombang, dan minus lampu merah, hasilnya bukan sekadar simpang, tapi medan perang batin. Ditambah lagi perilaku pengendara yang… ya ampun, jangan ditanya. Beautiful Chaos!
Pengendara Bandel: Dari Helm sampai Hati Nurani yang Absen
Kalau soal kelakuan pengendara, Simpang Pantek bisa jadi laboratorium sosial, tempat di mana norma lalu lintas dikompromikan tiap detik. Helm? Ada yang pakai, tapi juga banyak yang mikir kepala mereka sekuat aspal. Lampu sein? Mungkin cuma dianggap kosmetik kendaraan.
Ngobrol sambil motor berhenti di tengah jalan simpang empat? Ah elah, itu udah kayak budaya lokal. Oh iya, jangan lupakan knalpot racing yang suaranya bisa manggil malaikat maut. Belum lagi yang doyan parkir sembarangan di badan jalan, bahkan di tikungan tajam, seolah jalanan ini punya bapaknya.
Di titik ini kita harus jujur, warga Bengkong itu emang “kreak-kreak” semua. Tapi dengan segala kebandelannya… entah kenapa kita tetap sayang. Mungkin karena kita juga pelakunya. Xixixi!
Lampu Merah yang Hilang dan Kemampuan Telepati Massal
Yang lebih absurd lagi, dulu sempat ada lampu merah di sini. Iya, sumpah. Tapi enggak tau kenapa sekarang udah ilang. Entahlah ke mana. Entah dibongkar, dicopot, atau dicuri sama alien. Enggak ada yang tahu.

Herannya, semenjak enggak ada lampu merah pun, kayak jarang dengar ada kecelakaan besar. Seolah-olah semua pengendara di Simpang Pantek udah naik level jadi ninja, bisa baca gerakan lawan, punya insting nyelip level dewa, dan kayak tahu kapan harus berhenti tanpa disuruh. Intuisi lalu lintas level ma’rifat!
Simpang Pantek: Dari Nama Kasar jadi Simbol Frustrasi Kolektif
Lucunya enggak ada informasi resmi kenapa nama simpang ini jadi Simpang Pantek. Tapi feeling sih, ini hasil dari ledakan emosi masyarakat. Dari sekian banyak umpatan, kenapa yang melekat ya “pantek”? Mungkin karena tepat sasaran dan mewakili rasa lelah berjamaah menghadapi macet yang sama tiap hari. Coba deh sekarang becarut: PAN-TEK. Puas kali kayaknya, kan?
Kata pantek sendiri, yang asalnya dari bahasa Minang dan berkonotasi negatif, sekarang udah jadi istilah nasional buat situasi yang bikin pengen banting setir (dan helm).
Bahkan dalam percakapan sehari-hari, maknanya fleksibel banget:
- “Woi pantek, minggir la!” → ekspresi marah
- “Beli martabak di Simpang Pantek ya.” → netral aja
Makian udah jadi bagian budaya lalu lintas kita, dan percaya enggak percaya, menurut penelitian, becarut (ngumpat) itu bisa jadi penyaluran emosi yang menyehatkan otak. Yes, otak! Tapi ya bukan berarti boleh sembarangan maki orang.
Sialnya, Simpang Pantek bukan cuma satu. Mereka sekarang muncul di mana-mana. Mulai dari jalan lokal, jalan alternatif, sampai jalan lingkungan. Simpang Cikitsu, misalnya, udah kayak versi horor dari Simpang Pantek: macet iya, padat iya, rusak juga.
Salah Siapa? Semua
Menurut data, penduduk Kota Batam per tahun 2024 berada di sekitar 1,2 juta jiwa tapi jumlah kendaraannya? Beuh! 1,5 juta lebih, kata Dirlantas Polda Kepri. Dan motor doang udah 1,3 juta unit. Artinya, jumlah kendaraan bermotor lebih banyak dari manusianya. Gak heran kalau jalanan penuh terus.

Pemerintah sih udah coba ngelebarin jalan, tapi ya kebanyakan masih di jalur besar. Sementara masalahnya juga di jalan alternatif, jalan lokal, dan jalan lingkungan yang justru jadi sarang Simpang Pantek varian baru tapi universe yang sama.
Tentu kita juga harus akui, bukan cuma para pemangku kepentingan yang kureng gercep, tapi kita juga bandel dan egois di jalan. Kalau semua orang main nyalip, berhenti semaunya, dan merasa dirinya paling buru-buru… ya chaos-lah hasilnya.

Dari Pantek Menuju Solusi? Mungkin
Ngomel boleh. Tapi marah doang gak cukup. Kalau semua pengendara bisa mulai dari hal kecil kayak tertib berlalu lintas, pake helm, enggak nyalip sesuka kepala hotak, enggak geber knalpot jam enam pagi sampai ganti tanggal, dan enggak ngobrol di tengah jalan, itu udah langkah besar. Dan kalau pihak terkait bisa benerin manajemen lalu lintas dan sediakan transportasi umum yang layak, kita enggak harus terus hidup dalam drama sinetron jalanan tiap pagi. Tapi kalau semua enggak optimal, YWDLH, Mo gimana lagi?



Leave a Comment