Sekali waktu, Chairil Anwar berkata:
Sehari itu kita bersama.
Tak hampir menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak koyak sepi.
—Sia-Sia, 1943.
Sakitnya cinta dan kenangan masa lalu memang seringkali muncul serupa hantu. Kehadirannya bahkan serupa mantra pemanggil jelangkung: datang tak dijemput, pulang tak diantar.
Fenomena ini belakangan sering muncul dan hadir dalam wujud berbeda. Ia nyata, punya bentuk fisik jelas, dapat berbicara, bahkan tahu matematika dan nominal rupiah. Dialah tukang parkir.
Di banyak kesempatan, sosok ini disebut pula Juru Parkir atau Jukir. Penamaan yang sebenarnya keliru. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juru berarti orang yang pandai dalam suatu pekerjaan yang memerlukan latihan, kecakapan, dan kecermatan (keterampilan). Namun, realitanya malah bikin pengendara pengin makan aspal pelebaran jalan.
Untuk itu mari kita bersepakat menyebut mereka Tukang Parkir. Eh tapi, sebetulnya gimana sih cara kita mengidentifikasi itu Tukang Parkir liar atau bukan? Kadang pusing juga mikir itu pasukan pink beneran atau bukan? Hhh.
Tukang parkir yang ada saat ini punya kemiripan dengan hantu, bahkan ada yang menganggap kemampuan mereka serupa ninja. Asumsi ini jelas berlandaskan realita lapangan, bukan satu dua kali tukang parkir yang entah ke mana saat kita kesulitan mengeluarkan kendaraan, lalu sekonyong-konyong muncul dengan bunyi peluit panjangnya.
Kebiasaan tukang parkir ini tentu saja tak cuma bikin gondok, tapi juga menambah deret masalah soal tata kelola parkir yang semrawut di kota berpenduduk lebih dari satu setengah juta jiwa ini.

Misalnya tukang parkir pinggir jalan yang enggan memberikan karcis parkir kalau enggak diminta (kadang juga kalau diminta katanya udah habis atau belum diantar—hadeh!), sampai minimnya pengawasan pihak terkait dengan persoalan yang ada. Sebetulnya, di mana sih kami bisa tahu SOP-nya Tukang Parkir ini?
Sebagai informasi, kota mungil ini resmi menaikkan tarif parkir sebesar 100% pada awal 2024 lalu. Tarif yang semula Rp1.000 untuk roda dua dan Rp2.000 untuk roda empat, naik menjadi Rp2.000 untuk roda dua dan Rp4.000 untuk roda empat. Tapi ini hanya berlaku parkir di pinggir jalan umum, beda soal dengan tarif parkir di mal yang biayanya bertambah seiring jam. Kalian bisa baca beritanya di sini.
Kenaikan tarif parkir ini pun sebenarnya dikritik masyarakat, bukan karena kami enggak mau bayar—tapi lebih kepada gimana si Tukang Parkir ini bekerja—y g c?. Tapi ya tetap aja naik tuh, enggak balik kayak awal. Enggak ada lagi yang bisa kita pamer sebagai anak Batam “We parkir kota kami lho murah! Hahaha”. Dah lah!

Alasan naiknya tarif parkir ini juga sebenarnya bikin pengin gibah. Pemerintah kota dan DPRD sepakat menaikkan tarif parkir karena target pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi parkir mengalami kenaikan menjadi Rp40 miliar.
“Ini semua karena besarnya potential loss selama ini”— gitu menurut berita di Batam Pos
By the way, target PAD Kota ini dari retribusi parkir tuh enggak nyampe KPI-nya. Misal tahun 2020, target pendapatan dari retribusi parkir tepi jalan umum sebesar Rp20 miliar. Namun yang terealisasi cuma Rp4,67 miliar atau sekitar 23,36%. Kejadian yang sama terulang pada 2021, dari target Rp35 miliar, yang terkumpul hanya Rp4,36 miliar atau 12,48%—bisa kalian baca di sini.
Ini kan jadinya bikin gmz, ya. Ada yang belum tercapai di pengelolaan uang parkir, tapi tetap aja kita-kita kena imbasnya. Tolonglah, Pak, lebih profesional lagi pengelolaannya, kami dukung, kok. Kami chill & fine-fine aja kalau memang itu untuk mendukung pendapatan daerah. Cuma, kalau memang ada potential loss, kenapa enggak bikin sistem yang bisa mengawasi dan nyaman di kedua belah pihak? Gituw~

Tapi ya, kita bisa apa coba selain keluar dari satu tempat, lalu lirik kanan-kiri buat memastikan enggak ada tukang parkir, terus ngebut kencang pas dengar peluit panjang tanda ada ninja yang datang?
Terkesan jahat memang, tapi Mo Gimana Lagi, YWDLH! 😐


Leave a Comment