Surat Terbuka untuk Para Pekerja Kreatif dan Bos yang Suka Lupa Waktu

Home » Blog » Surat Terbuka untuk Para Pekerja Kreatif dan Bos yang Suka Lupa Waktu

Untuk: Kalian yang masih bangga “ngulik sampai subuh”
Dari: Sesama Kreatif yang Udah Muak Lembur Buta

Halo, Para Zombie Kreatif

Iya, kalian yang lagi baca ini sambil ngetik revisi ke-666 jam dua pagi. Kalian yang ngerasa “lebih keren” karena kerjanya bisa dari mana aja, kapan aja, bahkan dari kasur IGD Rumah Sakit, atau dari Ruang Rawat Inap. Buat Anda juga, para Bos Kreatif yang merasa team-nya “dedikasinya tinggi banget” cuma karena mereka belum pulang dari kantor sejak kemarin.

Santai, ini bukan intervensi. Ini cuma surat cinta—dari kami yang dulu juga bangga kalau kerja sampai malam tergulung ke dini hari (ceileh!—cuih). Yang dulu merasa lembur enggak jelas adalah badge of honor. Yang sekarang sadar: romantisme kerja kreatif itu sering kali toxic-nya minta ampun.

Jadi, ayok kita obrolin sesuatu yang sering dijadikan pemanis pahit kehidupan pekerja kreatif: lembur yang enggak tahu aturan dan enggak terukur.

Lembur: Antara Loyalitas atau Lupa Diri?

Di dunia kerja kreatif, lembur itu udah kayak nasi uduk: murah, gampang dicari, dan bisa bikin sakit perut kalau keseringan.

Masalahnya bukan karena kerjaannya menantang. Masalahnya adalah budaya “kerja sampai mampus” (baca: keren) yang udah kadung ditanam kuat sejak zaman orang-orang kreatif dianggap semacam makhluk eksentrik yang enggak butuh tidur, gaji tetap, atau jam kerja manusiawi.

Katanya fleksibel. Nyatanya? Justru kerja 24/7. Katanya remote working. Faktanya? Kantor pindah ke ruang tamu, kasur, bahkan toilet, bahkan meja makan. Katanya passion. Tapi pas mau minta naik gaji, malah dianggap “enggak total”.

Oh iya, jangan lupain quotes paling klasik dari para bos-bos yang pernah jadi anak muda haus karya: Namanya juga industri kreatif, harus tahan banting dong. (Ya, tapi kita kan kreatif, bukan kasur lipat, Ngab!)

Kerja Kreatif Boleh Gila, Tapi Jangan Sampe Gila

Sering banget kita bangga kerja sampai subuh, mikir kita lagi mengejar mimpi. Padahal, realitanya: mimpi yang dikejar justru kabur karena kita kurang tidur. Ingat, biar bisa mimpi kita harus TI-DUR. Xixixi!

Menurut riset Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) udah jelas: pekerja industri kreatif tuh dihantam beban kerja yang tinggi, jam kerja enggak jelas, upah seadanya, plus minim jaminan sosial. Kalian bisa baca di sini: klik dong!

Apakah itu fleksibel? Bisa jadi. Tapi fleksibel buat siapa? Kalau jam kerja bisa duabelas jam sehari dan enggak dibayar lembur, itu bukan fleksibel. Itu perbudakan dengan Wi-Fi.

Kita semua tahu, kreativitas itu butuh ruang. Butuh tidur. Butuh nonton Netflix tanpa rasa bersalah. Bukan sekadar jadi budak deadline yang bahkan revisi-nya enggak jelas kenapa harus ada.

Romantisasi Kerja = Gerbang Menuju Burnout

Pernah denger istilah toxic productivity? Itu tuh keadaan di mana kita ngerasa bersalah kalau lagi istirahat. Di mana tidur siang lebih bikin anxiety daripada nonton email atau task numpuk.

Sialnya, industri kreatif kita seringkali jadi ladang subur buat penyakit ini tumbuh. Mulai dari glorifikasi “kerja keras sampe mampus”, “hustle culture”, sampai “client is king”—padahal kadang client-nya aja enggak tahu dia maunya apa. Kita pikir burnout itu cuma perasaan. Tapi faktanya, itu kondisi medis. Lebih dari itu—itu juga sistemik.

Buat Para Bos/Owner Industri Kreatif, Dengerin Bentar

Anda sekalian para bos kreatif yang katanya “visioner”. Dengerin bentar. Kalau semua orang di tim harus lembur tiap minggu tapi enggak terukur, itu bukan karena mereka passionate. Itu karena sistem kerja yang cenderung berantakan.

Kalau Anda nganggap anggota/tim yang pulang jam lima atau enam sore itu kurang effort, mungkin Anda lupa caranya jadi manusia. Kalau Anda masih pake alasan “namanya juga industri kreatif” buat menormalisasi kerjaan ngaret-ngaret, tengok sebentar: industri kreatif yang sehat tuh lahir dari manajemen yang sehat juga. Bukan dari jarum infus, sakit pinggang, dan air mata revisi. Fufufu!

Batam, Kota Industri & Reruntuhan Tulang Belakang

Kota ini berkembang cepat. Batam adalah kota tempat orang kerja keras (banget malah). Tapi jangan sampai itu jadi alasan buat kita jadi mesin produksi ide tanpa istirahat. Buat para pelaku kreatif di Batam, kita bisa jadi generasi yang bikin perbedaan. Yang bisa bilang, “Awak bisa bikin karya keren tanpa harus tumbang!”. Yang bisa cabut dari kerjaan jam lima atau enam sore tanpa rasa bersalah. Yang bisa bilang: “Nolak lembur bukan berarti awak malas, tapi karena awak disiplin kerja tahu batas diri.”

Jadi, buat kalian—pekerja kreatif dan bosnya pekerja—surat cinta ini bukan buat nyindir aja. Tapi buat ngingetin: 

Kalau capek, ya istirahat.
Kalau sakit, jangan dipaksa.
Kalau butuh batasan, ngomong.
Kalau bos enggak ngerti, kirimin artikel ini.

Karena pada akhirnya, kerja kreatif itu tentang mencipta. Bukan menghancurkan diri sendiri pelan-pelan demi brief yang bahkan kadang diketik sambil mabok kopi instan sachetan.

Ayolah, bangun budaya kerja kreatif yang sehat. Karena kalau kita semua tumbang, siapa lagi yang bikin ide-ide gila itu jadi nyata? Hari ini enggak ada YWDLH, Mo Gimana Lagi? Hari ini, ini semua harus diluruskan. Sehat-sehat tubuh kita.

—Salam hangat dari kami yang udah pernah bangga kerja sambil sakit tenggorokan dan demam. Sekarang lebih bangga sih, bisa nonton Netflix tanpa mikirin revisi.

Author Profile

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *